TUGAS ESAI PANCASILA



Nama : Tri Napoleon Ramadhani

Kelas : X MIPA 2


Esai

Kebenaran Dalam Konteks Pancasila

    Berbicara tentang Indonesia tidak dapat dilepaskan dari status Pancasila sebagai dasar negara dan dasar falsafah bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila harus diposisikan sebagai sumber utama bagi para pemimpin pemerintahan dalam pengelolaan negara. Penyebutan Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis merupakan implikasi dari poin ini. Adapun sebagai dasar falsafah bangsa, Pancasila sejatinya harus mampu menjadi ruh dan jiwa bagi setiap perilaku pribadi-pribadi bangsa. Hal ini tentu tidak mudah mengingat perjalanan Pancasila dalam konstelasi sejarah terkadang terkooptasi oleh kepentingan penguasa dan kelompok-kelompok tertentu.


    Sehingga, pendiskusian tentang Pancasila hanya berhenti di kalangan elit-elit politik. Pancasila hanya alat instrumental bagi partai politik, misalnya, untuk sekedar menjadi syarat mengikuti pemilihan umum dan meraih suara sebanyak-banyaknya. Pada tataran penguasa, Pancasila tidak lebih dari sekedar alat “langgengisasi” kekuasaan. Apabila hal ini terus berlanjut, maka Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa akan kehilangan eksistensinya. Pancasila hanya berhenti dalam lingkaran politik praktis dan kekuasaan. “Apakah anda hafal sila-sila dalam Pancasila? Apakah anda mengerti maksud dari sila-sila tersebut?” adalah pertanyaan-pertanyaan yang sangat membingungkan bagi mayoritas masyarakat Indonesia di luar lingkaran kekuasaan.

    Kenyataan di atas merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan. Namun, dalam hal ini penulis tidak ingin terjebak pada persoalan di atas. Salah satu pertanyaan filosofis yang cukup penting untuk dipertanyakan adalah apakah makna kebenaran dalam konteks Pancasila. Pengetahuan akan makna kebenaran ini pada gilirannnya akan mendudukkan Pancasila secara proporsional, tidak hanya sekedar simbol dan alat kekuasaan. Sebab, menurut kami, segala yang terkait dengan politisasi Pancasila diakibatkan oleh tidak adanya pengetahuan akan makna benaran yang bersumber darinya.

Filsafat dan Kebenaran

    Dalam kajian kefilsafatan, persoalan kebenaran merupakan salah satu tema penting yang cukup banyak dibicarakan. Tidak hanya dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan ideologi, bahkan untuk mengakui adanya Tuhan, Ada Absolut, Causa Prima, Demiourgos, pemahaman tentang apa itu kebenaran menjadi sangat penting bagi setiap individu manusia. Karena itulah, sampai sejauh ini kita telah mengenal cukup banyak mengenai teori-teori kebenaran.

    Dalam filsafat Barat, misalnya, teori-teori tersebut meliputi teori: kebenaran korespondensi; kebenaran koherensi; kebenaran pragmatik; kebenaran identitas; kebenaran sematik; kebenaran prosentasional; dan kebenaran deflasioner. Selain untuk mencapai kebenaran, dunia Barat juga mengenal berbagai paham dan tradisi berfikir seperti: idealisme, rasionalisme, empirisme, positivisme, materialisme, spritualisme, realisme, dan sebagainya. Lahirnya sosialisme-komunisme dan liberalisme-kapitalisme pun telah turut serta dalam dinamika kehidupan masyarakat Eropa dalam mencari makna kebenaran. Tidak hanya berhenti disitu isme-isme sampai kini terus berkembang dalam bentuk pos dan neo.

    Sehingga, dapat kita pahami bahwa persoalan makna kebenaran merupakan persoalan universal yang dihadapi umat manusia di seluruh dunia. Begitu juga dengan “masyarakat Indonesia”. Jika masyarakat Barat mencarinya dalam pengagungan mereka terhadap ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi sekuler, maka “masyarakat Indonesia” mencarinya dalam Pancasila sebagai dasar falsafahnya.

    Nilai Kebenaran sendiri dalam filsafat dapat dijelaskan sebagai berikut : Kebenaran Koheresi: sebuah proposisi cenderung dianggap benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proporsisi-proposisi yang lain yang benar, atau benar jika berhubungan dengan pengalaman kita.
Kebenaran Korespondensi: sesuuatu dianggap benar apabila hal tersebut sesuai dengan kenyataannya, pernyataan tersebut benar apabila hal tersebut memang demikian. Ada kesesuaian antara pernyataan dengan keadaan (correspondence).

    Kebenaran Pragmatisme: ukuran kebenaran terletak pada satu macam konsekuensi pragmatis yang bermanfaat atau suatu proposisi dianggap benar apabila mempunyai konsekuensi seperti yang terdapat dalam proposisi tersebut (inhern)
    Kebenaran Semantik: proposisi dianggap benar dalam hubungannya dengan segi “arti” atau “makna” yang dikandungnya.
    Kebenaran Konsensus: sesuatu dianggap benar apabila sesuai dengan persetujuan (intersubjektif) dari forum yang rasional.


Lima Dasar Kebenaran

1. Ke-Tuhanan

     Menurut Notonagoro, sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan, bagi sikap dan perbuatan anti-Ketuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama. Pertentangan dalam hal ke-Tuhanan pada dasarnya berasal dari dunia Barat yang bersumber pada pengaruh hasil ilmu pengetahuan alam kodrat.

    Berdasarkan tafsir Notonagoro ini, maka kebenaran dalam konteks Pancasila dipahami atau dimaknai sebagai tiadanya pertentangan dengan Tuhan. Dalam makna yang lain, kebenaran adalah kesesuaian dengan nilai-nilai ketuhanan. Hidup yang benar apabila kehidupan yang dijalani mengandung harmonisasi dengan kehendak Tuhan. Hal ini tentu berbeda dengan dunia ilmu pengetahuan di Barat yang seringkali mengabaikan harmonisasi dengan kehendak dalam mencapai kebenaran. Makna kebenaran ini sangat berbeda dengan yang berlaku di Barat. Teori kebenaran korespondensi, misalnya, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian dengan fakta (fact).


2. Kemanusiaan

    Kebenaran adalah aktualisasi atau perwujudan dan terpenuhinya hakekat manusia. Notonagoro menyatakan, sila kedua dari Pancasila mengandung cita-cita kemanusiaan, yang lengkap sempurna memenuhi hakekat manusia. Hakekat yang dimaksud dalam hal ini meliputi: bhinneka-tunggal dan majemuk-tunggal atau monopluralis.

    Hakekat bhinneka-tunggal menunjukkan bahwa pada manusia terdapat gejala-gejala alam atau proses-proses fisis, gejala-gejala vegetatif, dan gejala-gejala animal. Selain itu, berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan, manusia memiliki kemampuan berpikir, berasa, dan berkehendak. Sedangkan hakekat majemuk-tungal atau monopluralis menunjukkan bahwa hakekat manusia itu adalah untuk melakukan perbuatan lahir dan batin atas dorongan kehendak, berdasarkan atas putusan akal, selaras dengan rasa untuk memenuhi hasrat-hasrat sebagai ketunggalan, yang ketubuhan, yang kejiwaan, yang perseorangan, yang kemakhlukan sosial, yang berkepribadian berdiri sendiri, yang kemakhlukan Tuhan.

3. Persatuan

    Notonagoro menyatakan, sifat mutlak kesatuan bangsa, wilayah dan Negara Indonesia yang terkandung dalam sila ketiga, dengan segala perbedaan dan pertentangan di dalamnya, memenuhi sifat hakekat daripada satu, yaitu mutlak tidak dapat dibagi. Segala perbedaan dan pertentangan adalah hal yang biasa yang justru pasti dapat disalurkan untuk memelihara dan mengembangkan kesatuan kebangsaan.

    Berangkat dari pemahaman di atas tersebut, maka kebenaran adalah suatu hal yang satu, tidak dapat dibagi-bagi. Namun, untuk mencapai kebenaran tidak berarti menutup segala bentuk dinamika pemikiran. Pertentangan dan perbedaaan adalah niscaya sebagai bagian dari proses menuju yang satu, yang benar. Karena itulah, demokrasi memiliki tempat dalam aktualisasi nilai-nilai pancasila.


4. Kerakyatan

     Dalam dunia kefilsafatan Barat, kita mengenal pragmatisme yang menganggap bahwa sesuatu itu benar apabila memiliki faedah atau bermanfaat bagi sesuatu yang lain. Kebenaran adalah sesuai atau searah dengan kemanfaatan. Nampaknya kebenaran dalam artian ini dapat kita temukan dalam Pancasila sila keempat.

    Menurut Notonagoro, sila keempat terdiri atas dua cita-cita kefilsafatan, yaitu: Kerakyatan yang mengandung cita-cita bahwa negara adalah alat bagi keperluan seluruh rakyat serta pula cita-cita demokrasi sosial-ekonomi;
Musyawarah atau demokrasi politik yang dijelmakan dalam asas politik negara, ialah Negara Berkedaulatan Rakyat.

5. Keadilan

     Kebenaran adalah terpenuhinya hakekat keadilan (adil). Inilah makna kebenaran dalam Pancasila yang bersumber dari sila kelima. Hakekat daripada adil menurut pengertian ilmiah, yaitu terpenuhinya segala sesuatu yang telah merupakan suatu hak dalam hidup bersama sebagai sifat hubungan antara satu dengan yang lain, mengakibatkan bahwa memenuhi tiap-tiap hak di dalam hubungan antara satu dengan yang lain adalah wajib. Sehingga, kebenaran dalam konteks Pancasila merupakan kebenaran yang memiliki keterkaitan dengan moralitas.

    Pemahaman Pancasila secara filosofis, akan mengingatkan kita semua bahwa Pancasila bukanlah sekedar suatu konsensus politik, melainkan juga sebagai suatu konsensus filosofis/moral yang mengandung suatu komitmen transendental yang menjanjikan persatuan dan kesatuan sikap, serta pandangan kita dalam menyambut masa depan gemilang yang kita cita-citakan bersama. Sebagai filsafat atau pandangan hidup, Pancasila bermakna jauh lebih luas dan lebih dalam daripada sekedar pragmatisme.

Kesimpulan

    Berdasarkan pada bagian pembahasan, maka pemahaman filosofis tentang kebenaran dalam konteks Pancasila dapat digeneralisasikan bahwa dalam konteks Pancasila, kebenaran adalah 1) Tiadanya pertentangan dengan Tuhan, 2) Aktualisasi atau perwujudan dan terpenuhinya hakekat manusia, 3) Suatu hal yang satu, tidak dapat dibagi-bagi, 4) Kemanfaatan pada semua pihak, dan 5) Terpenuhinya hakekat keadilan (adil).